Oleh: Saprudin Muhamad Suhaemi *
Menyoroti kasus sengketa tanah antarwarga: blok Cikuluwung, di Desa Malangnengah Kecamatan Cibitung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pemerintah Desa Malangnengah (diduga) telah mengambil kebijakan yang salah dengan cara melawan hukum. Telah memfasilitasi permusyawarahan sengketa tanah yang telah lewat waktu untuk digugat atau daluarsa. Ketentuan daluarsa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Buku Keempat yang mengatur tentang pembuktian dan daluarsa.
Musyawarah dilakukan di kantor Desa Malangnengah tepatnya hari Selasa, tanggal 27 Agustus 2024. Sdr. Jasmani Bin Asmaja menggugat tanah kepada Sdr. Samun Bin Sanul atas objek tanah yang telah dikuasai pihak tergugat Samun selama lebih dari 30 tahun. Seharusnya Pemerintah Desa Malangnengah tidak menerima ajuan musyawarah gugatan dari Penggugat Sdr. Jasmani karena ketentuan hukum yang berlaku mengikat.
Diketahui, berdasarkan adanya bukti autentik berupa dokumen girik yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pandeglang, Keresidenan Banten, Provinsi Jawa Barat. Tahun 1977, tercatat bahwa pada tanah objek sengketa adalah milik Unus Bin Jaya, lokasinya (waktu dulu) di Desa Sudimanaik, Kewadanaan Cibaliung, Kecamatan Cibaliung.
Berdasarkan keterangan dari banyak sumber informasi masyarakat, dulu Asmaja orang tua penggugat Jasmani, telah menjual garapan kepada Unus Bin Jaya sebelum tahun 1977. Tapi dalam musyawarah itu, diduga atas dukungan ide (pemikiran) dan kewenangan jabatan dari oknum Kepala Desa Malangnengah Mahmudin, gugatan dimenangkan oleh Sdr. Jasmani. Dugaan dan indikasi adanya intervensi dari kekuasaan, kewenangan dan jabatan dari oknum kepala desa itu terungkap pada waktu musyawarah di kantor Kecamatan Cibitung, hari Kamis, 10 Juli 2025. Musyawarah diajukan oleh tim kuasa non litigasi Samun. Sebelumnya Kades Malangnengah juga telah disomasi atas permusyawarahan yang melawan hukum itu.
Pokok isi somasi dan tuntutannya, bahwa Pemerintah Desa Malangnengah telah melaksanakan musyawarah dengan cara melawan hukum. Maka tuntutan somasinya supaya menganuklir musyawarah, diumumkan dan minta maaf atas kelailan kebijakan yang telah menimbulkan kerugian kepada tergugat Sdr. Samun serta mengembalikan hak tergugat berupa tanah dan sawah seluas 22.500 meter persegi (lahan garapan) yang beralih kepada pihak penggugat akibat permusyawarahan yang melawan hukum’.
Dalam kesempatan musyawarah di Kantor Kecamatan Cibitung Kades Malangnengah Mahmudin, menolak keras atas kenyataan berlakunya Pasal 1963 KUHPerdata yang mengataur batas waktu hak seseorang menggugat tanah karena ketentuan daluarsa. Menurut undang-undang perdata, ketentuan daluarsa jika ada alas hak penguasaan tanah selama 20 tahun, jika tanpa alas hak penguasaan tanah selama 30 tahun. Alasan Kades Mahmudin bahwa orang yang pertama menggarap objek tanah sengketa adalah Asmaja selaku orang tua Jasmani. Tanpa mempertimbangkan kemungkinan telah terjadinya peroses hukum yang membuat beralihnya pemilikan tanah dan garapan dari Asmaja kepada pihak lain ialah Unus Bin Jaya, kemudian kepada pihak Tergugat Sdr. Samun dan pertimbangan bahwa ketentuan hukum negara yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berlaku mengikat.
Pasal 1963 KUHPerdata:
“Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun.
Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya.”
Di Indonesia, hukum sering dianggap identik dengan undang-undang. Tidak mengherankan jika hukum diartikan secara sempit sebagai peraturan yang ditetapkan secara formal dan sah oleh negara. Hal ini tidak diragukan lagi terkait dengan dampak positivisme hukum. Namun demikian, penerapan pemikiran hukum formal tidak secara konsisten menghasilkan pencapaian keadilan dalam masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk pembelian hak kepemilikan tanah. Pentingnya sertifikat hak milik atas tanah ditekankan dalam “Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”. Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan hukum kepada individu yang memiliki hak atas tanah. Namun demikian, sertifikat hak atas tanah, yang berfungsi sebagai bukti kepemilikan properti yang sangat kuat, dapat dibatalkan juga jika pemiliknya tidak ada dan orang lain mengeksploitasi tanah tersebut dengan itikad tidak baik.
Prof. Subekti mendefinisikan bezit sebagai keadaan di mana seseorang melakukan penguasaan atas suatu benda seolah-olah benda itu miliknya sendiri, tanpa menggugat hak kepemilikan yang sebenarnya yang dilindungi oleh hukum.
Berdasarkan berbagai macam cara yang telah ditentukan oleh BW (Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maka daluwarsalah yang memberikan ruang bagi seorang bezitter untuk menguasai dan menduduki suatu kebendaan tanpa perlu adanya alat-alat bukti yang kuat. Bezit (kepemilikan) dapat dipegang oleh pemilik objek, yang disebut sebagai “Bezitter-Eigenaar” namun sering juga dipegang oleh individu lain. Dalam hal ini, orang yang bersangkutan mungkin benar-benar memiliki keyakinan bahwa benda yang berada di bawah kepemilikannya adalah haknya, baik karena warisan dari orang tua mereka atau pembelian yang sah dari lelang umum. Dengan demikian, Bezitter seperti itu disebut sebagai “Te Goeder Trouw” atau “jujur”. Sebaliknya, Bezitter mungkin menyadari sejak awal bahwa barang yang dimilikinya bukan miliknya sendiri, misalnya jika ia mengetahui bahwa barang tersebut telah dicuri. Dalam hal seperti itu, Bezitter ini dianggap sebagai “Te Kwader Trouw” atau pemilik yang “tidak jujur”.
Perlindungan hukum adalah sama untuk pemilik yang jujur dan tidak jujur. Dalam ranah hukum, ada prinsip dasar yang menyatakan bahwa individu dianggap jujur, sedangkan beban pembuktian terletak pada pembuktian ketidakjujuran. Dari perspektif hirarkis, seorang hali hukum sangat menyadari bahwa prinsip-prinsip memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada norma atau peraturan hukum positif.
Daluwarsa mengacu pada batas waktu terakhir untuk memperoleh atau melepaskan hak hukum. Sementara itu, batas waktu akhir untuk memperoleh atau melepaskan hak istimewa adalah batas waktu terakhir yang diizinkan secara hukum untuk melakukannya.
Daluwarsa adalah prinsip hukum yang dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hukum pidana, kedaluwarsa mengacu pada penghentian penuntutan. Namun, dalam hukum perdata, daluwarsa dapat dipahami sebagai teknik untuk memperoleh hak milik atas suatu benda. Pada Pasal 584 Burgerlijk Wetboek (BW), terdapat beberapa macam cara peralihan milik, salah satunya adalah: Hak kepemilikan (bezit). Jika suatu benda tidak bergerak berada dalam penguasaan seseorang, maka orang tersebut dianggap sebagai pemilik benda tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilik benda bergerak adalah pemilik sah dari benda itu sendiri. Oleh karena itu, Pasal 612 KUHPerdata secara khusus menyatakan bahwa konsep daluwarsa atau verjaring hanya berlaku untuk benda tidak bergerak. Hal ini dikarenakan, pada benda bergerak, bezit memiliki kedudukan yang sama dengan eigendom.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 memberikan kesempatan kepada anggota Persekutuan lainnya untuk mengelola dan memanfaatkan lahan yang telah lama ditelantarkan secara efektif. Sesuai dengan hukum adat, tanah tersebut harus memberikan manfaat bagi para anggota Perhimpunan. Jika tanah tersebut ditelantarkan dan kemudian dimanfaatkan dan dikelola oleh pihak lain dengan itikad baik, maka orang yang dahulunya pemilik tanah tersebut wajib menyerahkan haknya atas tanah tersebut.
Lebih lanjut, menurut Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa mengacu pada proses memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan setelah lewatnya jangka waktu tertentu dan dalam keadaan yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian, mengungkapkan daluwarsa sebelum jangka waktu yang ditentukan dilarang, tetapi diperbolehkan untuk mengungkapkan daluwarsa yang telah diperoleh.
Untuk mendapatkan hak kepemilikan atas sesuatu, seseorang harus memilikinya secara terus-menerus, tanpa gangguan, tanpa campur tangan orang lain, dan secara eksplisit menunjuk diri mereka sendiri sebagai pemilik yang sah. Dan jika seseorang yang sekarang memiliki suatu kebendaan menyatakan bahwa ia telah memilikinya sejak lama, ia dianggap telah memilikinya selama jeda antara saat itu dan sekarang, tanpa prasangka untuk menunjukkan hal yang sebaliknya.
Menurut pasal 621 KUHPerdata, “Setiap orang yang memegang kedudukan berkuasa atas sesuatu kebendaan tak bergerak, diperbolehkan meminta kepada Pengadilan Negeri, yang mana kebendaan itu terletak dalam daerah hukumnya, supaya dinyatakan sebagai hukum bahwa ialah pemiliknya.”
Selain itu, dalam pasal 622 dan pasal 623 KUHPerdata, dinyatakan bahwa “Apabila keputusan yang mengabulkan permintaan yang demikian telah memperoleh kekuatan mutlak, maka keputusan itu oleh atau atas nama yang berkepentingan harus diumumkan dikantor penyimpanan hipotik, dengan menyampaikan salinannya dan dengan pembukuan. Apabila pembawaan dan pembukuan itu telah berlangsung, maka sipemegang kedudukan dianggap sebagai pemilik kebendaan itu, dalam segala perbuatan yang dilakukan olehnya terhadap kebendaan itu dengan pihak ketiga.
Jadi pada kesimpulannya, daluwarsa membukakan ruang bagi para Bezitter untuk mendapatkan hak kepemilikan atas suatu benda sepanjang dipenuhinya syarat – syarat yang telah ditentukan oleh Undang – Undang. []
____________
*Tentang penulis:
(1) Praktisi Pers, pemimpin Redaksi Media online Justicia Multimedia (JMM Nsws).
(2) Aktifis masyarakat bidang Advokasi pada konflik pertanahan dan masalah lingkungan hidup.
______________
Referensi:
Tesis/Disertasi:
Irwanda, M. R. “Tinjauan Hukum Islam Tentang Bezit Terhadap Pasal 529
KUHPerdata (Studi Kasus di Desa Jatimulyo, Jati Agung, Lampung Selatan”, Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung (2019)
Malahayati, M. “Diktat Hukum Perdata: Hukum Benda (Zakenrecht)” Disertasi Universitas Malikussaleh (2005)
Sari, N. “Daluwarsa dalam Memperoleh Hak Atas Tanah Menurut Hukum Perdata Indonesia (Studi Putusan No. 96/Pdt. G/2012/PN. Mdn)” Doctoral Dissertation, Universitas Medan Area (2019)
Kitab Undang Undang Hukum Perdata/ Buku Keempat: Pembuktian dan Daluarsa.
PP. No. 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. PP. No. 18 tahun 2021.





